DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN KAB. PAMEKASAN Description slide 2 Description slide 3 Description slide 4

URUSAN PERBAIKI RUMAH, STATUS JOMBLO TAK MASALAH

Sejak dulu kala, negeri ini telah banyak melahirkan tokoh wanita hebat. Kisah hidup, perjuangan dan sepak terjangnya menjadi panutan dan inspirasi banyak orang. Di berbagai bidang, dari level lokal hingga internasional. Sebut saja Tjut Nyak Dien, RA. Kartini, Prof. DR. Pratiwi Pujilestari, Susi Susanti hingga Nyonya Meneer. Nama terakhir bahkan diklaim sebagai wanita terkuat di dunia, karena telah berdiri sejak tahun 1919…

Dari Kelurahan Kowel Kecamatan Pamekasan Kab. Pamekasan, muncul nama Ibu Suliha. Wanita 56 tahun yang tinggal di RT 02 RW 03 ini termasuk hebat, meski hanya di level kampung. Kisah hidupnya memang tidak seheboh Via Vallen atau Mamah Dedeh. Perjuangan beliau pun tidak membuahkan penghargaan apapun. Namun Ibu Suliha memberikan warna sekaligus panutan bagi masyarakat, utamanya kaum emak-emak di sekitarnya. Bagi yang pernah bertemu, berbincang, apalagi sampai berinteraksi secara langsung, akan terasa sekali kesan positifnya. Setiap ucapan dan perbuatannya adalah manfaat. Jadi wajar, apabila beliau sering didapuk untuk memimpin sebuah forum atau acara keagamaan semisal pengajian. Disamping itu beliau juga dijadikan tempat berembuk bagi ibu-ibu yang akan mempunyai hajat. Bahkan tempat curhat berbagai hal, dari masalah keluarga, rumah tangga, asmara hingga agama. Warga sekitar di lingkungan tempat tinggalnyapun akrab memanggilnya “Nyai Suliha”.

Ibu Suliha adalah janda hidup. Sudah sekitar 10 tahun beliau berpisah dengan suaminya. Mata beliau berkaca-kaca ketika pada sebuah kesempatan bercerita tentang kenyataan yang pernah dialami. Sambil menunjukkan foto lusuh suaminya berukuran 3R, beliau menyampaikan bahwa waktu itu adalah pilihan tersulit dalam hidupnya. Awalnya kehidupan rumah tangga Ibu Suliha bahagia. Namun entah kenapa tiba-tiba suaminya kecantol pada wanita lain, yang lebih muda dari beliau. Lebih seger, tentunya. Kalau saat ini, si pelaku disebut pelakor. Entah, Ibu Suliha tahu atau tidak dengan istilah ini, karena yang pasti beliau jarang menonton sinetron. Apalagi berselancar di dunia maya melalui media sosial, sungguh jauh panggang dari api. Tidak seperti emak-emak milenial jaman sekarang yang terkadang ke kamar mandipun melangsungkang live streaming, menggunakan HP yang dilengkapi dengan kamera jahat.

Ibu Suliha pastinya tidak mau kalau ada wanita lain di hati suaminya. Maka dari itu, beliaulah yang berinisiatif meminta cerai, meskipun rasa cinta dan sayang masih membara. Beliau juga tahu resiko yang akan diterima. Setidaknya, beliau mau tidak mau harus menjadi single parent sekaligus single fighter untuk memenuhi kebutuhan bersama kedua anak beliau.

Hidup harus tetap berjalan, tidak boleh berhenti. Dua orang anak masih butuh untuk diayomi. Jadi tiada guna meratapi yang telah terjadi. Yang lalu biarlah berlalu. Mulailah Ibu Suliha membuka lembaran baru.

Untuk biaya hidup sehari-hari, Ibu Suliha mempunyai usaha pesanan kue dan nasi untuk acara-acara hajatan kampung. Beliau tidak mau usahanya disebut catering. Terlalu gawat menurut beliau karena hanya kecil-kecilan. Hasilnya cukup untuk menyambung hidup. Tak jarang pula, warga sekitar ater-ater kue, nasi plus lauknya. Kadang ada “amplopnya”, kadang tidak. Tergantung kemampuan dan keikhlasan, toh Ibu Suliha tidak meminta. Maksud dan tujuannya adalah minta didoakan untuk keselamatan, kesehatan dan maksud-maksud tertentu lainnya. Tradisi ini di Madura lazim dikenal dengan istilah arebbá.

Beberapa bulan terakhir, beban Ibu Suliha sedikit berkurang. Anak sulungnya menikah dan memilih hidup mandiri dengan membangun rumah kecil nan sederhana, tepat berdempetan dengan rumah Ibu Suliha. Sempat si sulung mengajak Ibu Suliha dan adiknya untuk tinggal bersama di rumah baru. Menantunya juga tidak keberatan, senang malahan. Namun dengan halus ditolak. Prinsip beliau, biarlah anak dan cucuya merasakan kebahagiaan yang sempurna di rumahnya sendiri. Cukuplah beliau saja yang menderita. Sedangkan anak cucunya, jangan. Biarlah Ibu Suliha dan si anak bungsu tetap tinggal di rumah patobin, meski sebenarnya sudah tidak layak. Satu ranjang tidur dibuat berdua, meski Ibu Suliha sering mengalah dengan tidur di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Lantai tanah, dinding gedek dan atap yang sering bocor manakala hujan turun

Selang tak lama kemudian, Ibu Suliha terkejut bercampur tidak percaya ketika namanya tercantum sebagai salah satu penerima bantuan untuk memperbaiki rumah. Sempat pesimis pada awalnya, namun semua pihak menguatkan. Lurah beserta perangkatnya, kerabat, anak dan juga warga sekitar. Semua juga turut membantu pada saat renovasi, baik materi, tenaga bahkan do’a. Hingga terbangunlah sebuah rumah baru yang lebih layak, bahkan jauh lebih bagus dari rumah sebelumnya.

Kini Ibu Suliha bersama anak bungsunya bisa tinggal dengan nyaman. Kamar tidur sudah sendiri-sendiri. Ruang tengah dan ruang tamu relatif lebar dan berlantai plesteran. Cukup leluasa apabila Ibu Suliha menerima tamu, atau ketika menggelar acara pengajian.

Selamat, Ibu Nyai. Apapun yang telah terjadi, tetaplah menjadi pelita di tengah kegelapan...

 

Senin, 4 Maret 2019

Karya         : DWI BUDAYANA EKA DEWANTARA, ST 

JABATAN : KASI. PERUMAHAN DINAS PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN